September 9, 2011

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…

Posted in Cerpen pada 6:20 am oleh persadaarihta

“De’… de’…. Selamat Ulang Tahun…” bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku.

“Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.

Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me… Happy Birthday to Me…. Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resort di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.

“De…. Ade kenapa?” tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.

“Selamat ulang tahun ya De’…” bisiknya lirih. “Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini… tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.

Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari mana dia belajar membungkus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.

“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng… Nggak bagus ya de?” ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.

Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.

“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak bisa ngasih apa-apa…. Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de’…” desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi… mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku pertanyakan.

“A’ lihat aku…,” pintaku padanya.

Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu.

“Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,” bisikku di antara isakan. “Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede’,” senyumku sambil mengelus perutku. “Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama….” bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. “Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang,” isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di pelukanku.

Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…

Januari 27, 2011

Cintaku di tenda biru

Posted in Cerpen pada 8:27 am oleh persadaarihta

Namaku Dian Satrio Mahardika, aku merupakan salah satu pegawai di perusahaan di Jakarta. Teman-temanku sering memanggilku dengan panggilan dian, karena lebih mudah diingat. Sedangkan orang rumah memanggilku satrio, tapi entah mengapa aku kurang suka dengan panggilan itu.

aku biasa makan di tempat makan sebelah kantorku. Sebutlah namanya tenda biru, sebenarnya ga tau pasti apa namanya, tapi itulah yang biasa disebut oleh orang-orang karena ada sebuah tenda berwarna biru yang menaunginya. Meskipun ada tenda yang menaunginya untuk para penjual tenda, tapi untuk konsumen nya biasanya makan di sebelah tenda biru, karena banyak pepohonan dan sejuk.

Karena banyaknya kantor yang ada disekitaran tenda biru tersebut maka banyak pula pegawai yang makan disana. saya dan teman-teman sering makan disana selain memang banyak cewe-cewe cantik yang makan disana. Sehingga selain makan kami seneng dengan pemandangan yang ada.

Sudah 2,5 tahun ini aku telah memperhatikan seorang wanita cantik yang selalu ku lihat makan di tenda biru. Wanita tersebut memakai jilbab, dengan postur tinggi sekitar 165an, kulit putih, badannya agak berisi dan yang paling penting menurutkku adalah senyum nya yang manis. setiap kali aku melihat senyum nya serasa meleleh hati ini. begitu manis sehingga aku ingin memilikinya.

selama ini aku hanya memperhatikan saja, tidak berani untuk memperkenalkan diriku kepadanya. Aku takut jika dia menolak untuk berkenalan, atau bahkan dia sudah ada yang memiliki. meskipun alasan ini tidak beralasan dan hanya ketakutan dalam diriku, tapi tetap saja hal tersebut menghantuiku.

Akhirnya hari ini aku telah bertekad untuk berkenalan padanya, aku telah menyiapkan semuanya. Kupakai baju yang paling rapih, sepatu andalan, dan tentu saja parfum kesayanganku. Kukatakan pada teman-teman ku untuk meminta bantuannya jika aku ingin berkenalan padanya. Tidak perduli apakah dia dengan temannya atau sendiri, yang pasti aku harus kenalan.

Begitu siang tiba, aku biasanya selalu salat dzuhur dulu, baru ke tenda biru. setelah aku salat, dan menenangkan hatiku, aku berjalan ke tenda biru dengan teman-teman. hatiku berdegup kencang, tanganku keringatan, dan betis ku tanpa terasa telah mengalir keringat. aku sangat gugup sampai aku tidak bisa bernafas, kucoba untuk tenang agar aku bisa santai. aku tidak ingin kelihatan gugup di depannya.

Saat itu pun tiba, kulihat dia dengan teman-temannya berjalan kemari, dengan tertawa kecil dan senyum manisnya membuat hatiku makin berdegup kencang. aku ambil nafas, dan mencoba untuk berpikir jernih sebelum aku berkenalan dengannya. “oke, ini saatnya…” kataku dalam hati. Aku berdiri dan mengucapkan basmalah sebelum aku berjalan ke hadapannya.

Pikiran negatif pun langsung terlintas dikepalaku saat aku menghampirinya. Apakah aku akan ditertawakan, atau aku akan ditolak untuk berkenalan dengannya. pikiran ini semakin mengawur, mengaduk-aduk di kepalaku, sehingga aku pusing. Tapi aku tetap bertekad untuk berkenalan dengannya, aku paksakan pusing ini dan aku tetap berjalan. Langkahku semakin doyong dan tak pasti, aku kira aku akan jatuh, dan tidak akan sampai kehadapannya. Tapi aku terkaget, ketika kakiku menabrak meja dimana dia duduk.

“oh shiiit….” kataku dalam hati. “Aduh, bego amat sieh, kenapa pake nabrak segala…”yang ada dipikiranku. kucoba untuk tidak salah tingkah, langsung saja aku menyapanya “hei… punya waktu sebentar…” dengan gugup dan keringat yang jatuh di pipiku “boleh kenalan, namaku Dian…” sambil kuarahkan tanganku padanya. Dan dia pun dengan ramah menyulurkan tangannya, menjabat tanganku dan berkata “hei, namaku Putri…”

Itulah awal pertama kali aku berkenalan dengannya, hari itu berjalan dengan sukses. meskipun hanya mengenalkan nama saja dan kantornya, tapi setidaknya saat aku bertemu lagi dengannya aku bisa lebih akrab. Dan setidaknya awal dari cintaku yang selama ini terpendam. memang terlalu dini untuk mengatakan hal itu, tapi selangkah lebih dekat dengan mimpiku selama ini.